Mengenal Desa Komodo dan Keunikannya


Apakah yang pertama kalian pikirkan jika mendengar kata Taman Nasional Komodo? Hewan yang menjadi ikonnya? Keindahan Pulau Padar, Pink Beach dan Taka Makassar? Jika iya, maka sama dengan saya. Pada awalnya saya tidak terlalu mengetahui bahwa Pulau Komodo memiliki sebuah pemukiman yang dihuni banyak masyarakat asli sana. Tetapi, ternyata kehidupan mereka tak kalah menarik jika dibandingkan dengan kehidupan masyarakat tradisional lainnya.

Jika suatu saat nanti kalian mempunyai rezeki untuk berkunjung ke area Taman Nasional Komodo (selanjutnya akan disingkat menjadi TNK), tidak ada salahnya jika kalian menyempatkan waktu untuk berkenalan dengan desa dan masyarakatnya. Bulan September lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi desa ini, dan beruntungnya saya bisa tinggal selama hampir 2 bulan. Saya selalu senang jika diberi kesempatan untuk mengunjungi daerah yang belum pernah saya datangi sebelumnya. Dan pengalamannya takkan bisa digantikan dengan jumlah uang yang banyak sekalipun. Yang kita tahu, Indonesia memiliki begitu banyak budaya yang luar biasa, dan saya rasa ini merupakan salah satu kesempatan untuk bisa mengenali negeri ini lebih dalam lagi.

Saya berangkat menggunakan jalur darat yang dikombinasikan dengan jalur laut untuk sampai ke Nusa Tenggara Timur. Saya bukanlah orang yang mampu untuk membeli tiket pesawat semudah itu, apalagi tiket domestik yang harganya relatif mahal. Jadi, kapal menjadi salah satu alternatif yang bisa dimanfaatkan. Walaupun, konsekuensinya adalah waktu tempuhnya yang berkali lipat lebih lama jika dibandingkan dengan pesawat.

Desa Komodo

Lokasi Desa Komodo di mana, sih? Seperti yang saya tuliskan di atas, desa ini berada di kawasan TNK. Ada beberapa pulau besar berpenghuni yang dapat kalian temukan di sana: Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Messa, dan Pulau Papagarang. Nah, desa ini terletak di Pulau Komodo. Pulau Komodo dan Pulau Rinca adalah dua pulau terbesar dengan masing-masing spot terkenalnya. Pulau Komodo dengan Loh Liang, dan Pulau Rinca dengan Loh Buaya. Kedua spot ini merupakan tempat terbaik untuk singgah ke rumah sang naga terakhir: Komodo.

Lantas apakah masyarakatnya hidup bersama Komodo? Ya. Hidup berdampingan dengan hewan liar dan buas memang terdengar mengerikan, pun untuk saya pribadi. Saat pertama kali menginjakkan kaki di desa, rasanya was-was sekali. Belum mengenal wilayah, budaya warga, dan hal minor lainnya. Apalagi Komodo sering turun sampai ke pemukiman. Ah, sial, bikin deg-degan saja.

Hal pertama yang membekas pada diri saya adalah warganya yang sangat bersahabat. Ramah sekali, bahkan bisa dibilang lebih ramah daripada orang Jawa. “Stabe, Uba.” Ucap saya “Iyo, Anak.” Balas seorang warga. Stabe berarti permisi dan Uba berarti Pak dalam Bahasa Indonesia. Selama di desa, saya dan kawan-kawan tinggal di rumah Om Makasao, dan selanjutnya kami jadikan posko. Uniknya, Bahasa Komodo hanya ada di desa ini saja, bahasa di Labuan Bajo, Manggarai, Sape maupun Bima sudah lain lagi. Bahkan di Pulau Rinca pun bahasa kesehariannya berbeda, walaupun banyak pula yang mengerti karena banyak warga Komodo yang pindah kemudian menetap di Rinca.


“Mas, ayo sini mampir, makan kita.”, ucap seorang lelaki paruh baya ketika saya sedang asyik bermain gitar di belakang posko. Menurut beberapa warga, menolak ajakan atau pemberian merupakan salah satu bentuk ketidaksopanan. Lelaki tersebut bernama Om Firman. Sembari makan, beliau banyak sekali bercerita pada saya dan kawan-kawan tentang desa. Mulai dari hewan Komodo, hingga kebiasaan warga sana. Hampir tiap malam saya dan para lelaki singgah ke rumah Om Firman, bahkan saking seringnya, saya justru lebih akrab dengan Om Firman daripada Om Makasaosang pemilik rumah. Bercerita sambil ngopi, melihat gelapnya laut dan gelombangnya yang kadang menerjang rumah. Kabarnya, jika sedang “musimnya”, gelombang air bisa lebih besar lagi dan sampai ke jalan penghubung desa.

Om Firman memiliki 2 orang anak bernama Fikar dan Felci. Fikar merupakan siswa SMP Satu Atap Pulau Komodo, sedang Felci masih berada di Taman Kanak-kanak. Walaupun jauh dari perkotaan (4 jam dari Labuan Bajo), warga Komodo percaya bahwa pendidikan merupakan hal penting untuk keberlangsungan hidup. Terdapat TK, SD dan SMP di sana. Jika mereka ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, harus merantau ke kota. Entah ke Labuan Bajo, Sape maupun Bima. Saya salut sekali, ternyata minat baca masyarakat Komodo begitu besar. Mereka begitu menghargai adanya buku sebagai jendela ilmu. Apakah hal tersebut masih berlaku pada Anda? Hehe


Siswa SD Satu Atap Komodo

Selama di Komodo, saya sempat melihat hewan Komodo turun ke pemukiman sebanyak dua kali. Lewat samping masjid ketika sedang jumatan, bahkan ada seekor yang berukuran besar lewat depan posko ketika saya dan beberapa warga nongkrong di depan. Seketika warga berlarian menyelamatkan diri dengan masuk ke rumah. Ternyata, walau sudah biasa berjumpa, mereka tetap heboh saja jika ada yang lapar dan turun ke desa. Hahaha, menyenangkan sekali. Selain Komodo, pada malam hari banyak Babi Hutan yang turun ke pemukiman dengan ukuran jumbo. Akrab dengan Babi di Gunung Sindoro? Babi di Komodo lebih besar dari itu. Oleh karenanya, rumah-rumah warga di sini banyak yang berupa rumah panggung supaya meminimalisir datangnya hewan buas ke rumah mereka.

Rata-rata warga bekerja sebagai tour guide, nelayan, pembuat patung, dan kemudian menjualnya di spot terkenal TNK. Om Firman salah satunya, beliau menjadi penjual cenderamata khas Komodo yang biasa menjualnya di Pulau Padar. Waktu tempuh menuju Padar dari Komodo hanya satu jam saja, tidak terlalu jauh. Sedangkan pada tour guide biasanya bekerja di Loh Liang ataupun Loh Buaya, memandu para wisatawan yang penasaran dengan keberadaan sang hewan Komodo. Mereka selalu membawa senjata khasnya berupa kayu dengan 2 cabang, seperti ketapel. Konon katanya, Komodo takut dengan benda tersebut. Menurut warga, dahulu pernah ada komodo yang kepalanya tersangkut pada cabang tersebut, dan membuat “perasaan traumatik” pada Komodo lainnya.





Hampir jarang sekali ada sayuran di sini. Jika kalian penggila seafood, selamat! Kalian bisa makan seafood setiap hari. Satu kantung kresek Ikan hanya seharga Rp. 7.500 saja. Murah? Tentu, namun sayuran di sini menjadi mahal karena kelangkaannya. Untuk kalian para muslim, tidak usah khawatir mencari tempat beribadah. Warga komodo 100% muslim. Saya kira awalnya tidak, karena melihat Labuan Bajo yang penduduknya heterogen.

Karena rata-rata pulau di TNK merupakan pulau-pulau besar nan gersang, cukup sulit mencari air bersih di sana. Warga Messa, Papagarang, maupun Rinca harus berusaha ekstra keras untuk mendapatkan persediaan air bersih. Bahkan, ada yang harus membelinya di Labuan Bajo, kemudian dibawa menuju pulau dengan kapal. Beruntungnya, Pulau Komodo memiliki cukup banyak persediaan. Banyak sumber air berupa sumur, dan telah ada bantuan diesel yang berfungsi sebagai penyalur air untuk sampai ke seluruh warga di sana. Walaupun, mereka harus bergantian mengisinya. Saya dan kawan-kawan biasa menunggu sampai tengah malambahkan pagi−agar bisa mengisinya ke dalam penampungan di posko kami.

Penasaran dengan Desa Komodo? Datanglah jika ada kesempatan. Menjelajah keindahan TNK dan mengenal warga aslinya merupakan sebuah kombinasi yang luar biasa menarik. Saya senang sekali bisa mengenal mereka. Keramahtamahannya akan selalu membekas di memori saya. Semoga suatu saat nanti saya bisa kembali lagi dan bisa bercengkerama dengan mereka.
Selamat bertualang! Semoga kita berpapasan.




Salam hangat,
Angga Tannaya


Sebuah cerita dari Desa Komodo (Video)




0 Response to "Mengenal Desa Komodo dan Keunikannya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel